Memiliki hunian di Menteng, Jakarta Pusat, sering kali dianggap sebagai mimpi yang tak terjangkau bagi kelas menengah. Kawasan elit ini, dengan harga tanah yang meroket, seolah menjadi benteng eksklusivitas. Namun, di tengah kepungan harga properti yang mencekik, sebuah gagasan radikal lahir dan berwujud nyata: Flat House Menteng. Ini bukan sekadar bangunan, melainkan sebuah manifesto. Sebuah antitesis dari model properti konvensional yang membuktikan bahwa tinggal di jantung kota dengan harga terjangkau bukanlah ilusi, melainkan sebuah kemungkinan yang bisa diciptakan melalui inovasi dan kekuatan komunitas.
Diprakarsai oleh arsitek dan pegiat urban terkemuka, Marco Kusumawijaya, proyek ini menawarkan cetak biru baru bagi perumahan urban di Indonesia. Mari kita bedah bagaimana hunian vertikal berbasis koperasi ini mendobrak pakem dan menawarkan harapan baru.
Membangun Tanpa Harus Memiliki Tanah
Inovasi paling fundamental dari Flat House Menteng terletak pada sistem kepemilikannya. Lupakan sejenak Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama perorangan. Proyek ini mengadopsi model kepemilikan kolektif yang cerdas melalui Koperasi Serba Usaha Flat Menteng.
Konsep Inti: Para penghuni membeli unit bangunan fisiknya, namun tanah tempat bangunan itu berdiri dimiliki secara kolektif dan dikelola oleh koperasi. Tanah seluas 280 m² ini disewa dari pemiliknya (dalam hal ini Marco Kusumawijaya) dengan biaya tahunan sekitar Rp90 juta, yang kemudian ditanggung bersama oleh seluruh anggota koperasi secara proporsional.
Struktur ini secara dramatis memangkas biaya akuisisi awal. Dengan harga unit mulai dari Rp380 juta hingga di bawah Rp1 miliar untuk luas sekitar 40-90 m², Flat House Menteng menawarkan nilai yang nyaris mustahil ditemukan di kawasan premium seperti Menteng. Ini adalah solusi jitu untuk "memisahkan" biaya bangunan dari biaya tanah yang selangit.
Desain Cerdas untuk Gaya Hidup Urban Terkoneksi
Terletak strategis, hanya 15 menit berjalan kaki dari Bundaran HI, hunian ini dirancang untuk memaksimalkan fungsi dan kenyamanan dalam lahan terbatas, sekaligus mendorong gaya hidup berkelanjutan.
- Arsitektur Efisien: Bangunan setinggi empat lantai ini menampung beberapa unit hunian dengan ukuran bervariasi antara 40 m² hingga 90 m², dilengkapi 1-2 kamar tidur. Desain ini ideal untuk para profesional, pasangan muda, maupun keluarga kecil yang dinamis.
- Ruang Multifungsi (Mixed-Use): Lantai dasar tidak disia-siakan. Di sini terdapat ruang komersial seperti toko buku (15 m²) dan kantor Rujak Center for Urban Studies (80 m²), menciptakan ekosistem yang hidup dan produktif.
- Fasilitas Berbasis Komunitas: Alih-alih lift konvensional yang mahal, bangunan ini dilengkapi dumbwaiter untuk mengangkut barang antar lantai. Tangga didesain landai (tinggi maksimal 18 cm) untuk kenyamanan semua usia. Balkon di setiap unit memastikan sirkulasi udara yang sehat.
- Orientasi Transit: Dengan kedekatan pada simpul transportasi publik utama seperti MRT, KRL, dan TransJakarta, konsep ini secara inheren mendukung pengurangan penggunaan kendaraan pribadi, sejalan dengan prinsip Transit-Oriented Development (TOD).
(image: pinterest)
Bukan Sekadar Bangunan, Tapi Sebuah Komunitas (Co-Housing)
Mengambil inspirasi dari model co-housing yang telah berhasil di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Denmark, Flat House Menteng bukan hanya kumpulan unit individual. Ini adalah sebuah komunitas yang sengaja dibangun. Kepemilikan dan pengelolaan kolektif secara alami mendorong interaksi dan gotong royong antarpenghuni. Dari perawatan fasilitas bersama hingga pengambilan keputusan penting, semuanya dilakukan lewat musyawarah dalam wadah koperasi.
Ini menciptakan modal sosial yang kuat—sebuah "rasa bertetangga" yang sering kali hilang di apartemen-apartemen modern yang anonim.
Aspek Perbandingan | Flat House Menteng (Co-Housing) | Rumah Susun (Rusun) | Apartemen Komersial |
---|---|---|---|
Target Pasar | Kelas Menengah | Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) | Kelas Menengah ke Atas |
Model Kepemilikan | Kolektif melalui Koperasi | Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (Sarusun) / Sewa | Hak Milik Sarusun (Strata Title) |
Pengelola | Koperasi (oleh penghuni) | Pemerintah / BUMN / Pengembang | Badan Pengelola Profesional |
Fokus Utama | Keterjangkauan, Komunitas, Lokasi Strategis | Penyediaan Hunian Dasar (bersubsidi) | Privasi, Kemewahan, Investasi |
Tantangan dan Masa Depan Hunian Kolektif
Meskipun revolusioner, model ini bukannya tanpa tantangan.
- Hambatan Psikologis: Sistem kepemilikan kolektif masih terasa asing bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan konsep kepemilikan individu (SHM). Edukasi dan sosialisasi menjadi kunci.
- Aksesibilitas Harga: Walaupun "terjangkau" untuk standar Menteng, harga unit masih menjadi tantangan bagi sebagian besar masyarakat. Model ini paling sesuai untuk kelas menengah dengan stabilitas finansial.
- Dukungan Regulasi: Agar model ini dapat direplikasi secara masif, dibutuhkan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung dari pemerintah, terutama terkait perizinan dan skema pembiayaan perbankan.
Kabar baiknya, konsep ini mulai dilirik untuk dikembangkan di lokasi lain seperti Matraman dan Pancoran. Jika berhasil, ini bisa menjadi salah satu jawaban paling konkret untuk mengatasi krisis perumahan kelas menengah di kota-kota besar Indonesia.
Sebuah Cetak Biru untuk Masa Depan
Flat House Menteng adalah lebih dari sekadar proyek properti; ia adalah sebuah bukti konsep. Bukti bahwa dengan kreativitas, kolaborasi, dan keberanian untuk mendobrak status quo, hunian yang manusiawi, terjangkau, dan berkelanjutan dapat diciptakan di lokasi paling strategis sekalipun.
Ini adalah undangan untuk berpikir ulang tentang makna "rumah" dan "kepemilikan" di era urban. Bukan lagi sekadar aset pribadi yang terisolasi, melainkan bagian dari sebuah ekosistem komunal yang saling mendukung. Pertanyaannya kini bukan lagi "apakah ini mungkin?", melainkan "bagaimana kita bisa mereplikasinya lebih banyak lagi?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar